artwork 4

SPECIAL PROGRAMS

Pesan dari Filmmaker Jogja

 

Jogja saat ini menjadi salah satu barometer perkembangan perfilman di Indonesia, bahkan beberapa tahun belakangan ini beberapa film Jogja baik film pendek maupun panjang terseleksi di sirkuit festival film internasional papan atas dunia seperti Cannes, Venice, Berlinale, Locarno dan sebagainya. Saya menggunakan istilah film Jogja karena sutradara-nya dari Jogja atau pernah tinggal dan berproses di bidang film saat tinggal di jogja atau rumah produksinya dari Jogja. Membahas perkembangan perfilman Jogja saat ini, kita perlu menengok kembali ke awal tahun 2000 ketika di Jogja saat itu tumbuh lebih dari 100 komunitas film, kine club dan rumah produksi independen, misalnya Four Colors, KBBF (Kelompok Belajar Bikin Film), Limaenam Films, Lajar Tantjap, Bulldozer, MM kine Club, De Javu, X-Code, Komaroll dan lain lain.  Komunitas-komunitas film tersebut ada yang berbasis kampus dan non kampus, beberapa kampus yang menyumbang banyak filmmaker antara lain ISI, UGM, UMY, Atmajaya, MMTC dan Akindo.

 

Mayoritas anggota komunitas-komunitas atau rumah produksi film itu tak pernah mengenyam pendidikan film secara formal karena memang tak ada sekolah film di Jogja saat itu. Institut Seni Indonesia yang mempunyai fakultas seni media rekam pun belum bisa disebut sekolah film. Mereka lebih banyak learning by doing dan mencari referensi film-film manca dari vcd bajakan dan rental vcd, dua diantaranya yang sangat legend yaitu Universal dan Sketsa Sinemadeus. 

 

Belum adanya skema pendanaan film dari pemerintah atau swasta saat itu tak menjadi penghalang bagi para filmmaker muda untuk berkarya, bermodal mau srawung dan saling percaya banyak no budget film atau film berbudget minimalis berhasil diproduksi. Banyak juga yang kemudian memberanikan diri mendaftarkan filmnya ke festival baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Fourcolors misalnya yang dimotori oleh Ifa isfansyah dan Eddie Cahyono memproduksi film pertamanya Di Antara Masa Lalu dan Masa Sekarang menjadi film terbaik di Festival Film dan Video Independent Indonesia dan bahkan film-film pendek yang mereka produksi kemudian sering beredar di festival-festival internasional seperti IFFR Rotterdam, Oberhausen, Hamburg, dan lain lain. 

 

Ini tentunya menjadi tambahan bahan bakar penyemangat komunitas film lain untuk lebih giat memproduksi film. Hasil film-nya tak hanya ditonton oleh anggota komunitas sendiri tapi mereka sudah punya kesadaran untuk melakukan eksibisi dengan mengundang komunitas lain untuk menonton film bersama dan berdiskusi. Tentunya bukan hal mudah, karena harus mengeluarkan biaya lagi dan harus siap secara mental untuk menerima kritikan dari anggota komunitas lainnya, saya menyebutnya banyak yang mulutnya “setajam silet”.  Ini tentunya menjadi latihan mental dan sarana untuk evaluasi dan refleksi atas karyanya untuk kemudian bisa membuat karya yang lebih baik. 

 

Dua komunitas film yang sering melakukan pemutaran dan diskusi film secara berkala adalah KBBF dan Rumah Sinema dan hal ini membuat para anggota komunitas-komunitas film yang awalnya hanya saling tahu nama menjadi saling mengenal secara personal. Kegiatan pemutaran film dan diskusi tersebut tak hanya mengundang sesama penggiat film tapi juga mengundang kalangan akademisi atau seniman untuk memberi pengayaan intelektual dan seni budaya. Beruntung di Jogja banyak kampus ternama dan akademisi-nya masih nyah-nyoh berbagi ilmu. Yosep Anggi Noen dari Limaenam Films misalnya mengundang akademisi UGM, Budi Kazeth untuk memberi insight pada pemutaran filmnya. 

 

Diskusi-diskusi film di Jogja sangat kental dengan muatan intelektual dan seni, hal teknis jarang disinggung karena buat mereka perihal teknis lebih mudah dipelajari ketimbang mempelajari diskursus/wacana. Keberadaan komunitas teater dan musik di Jogja yang kuat juga memberi keuntungan kepada komunitas film karena bisa saling bersinergi dan berkolaborasi dalam mencipta karya. Film pendek dari Jogja juga banyak mengangkat kisah-kisah lokal tapi mampu membawa nilai yang universal, sehingga bisa dinikmati bahkan oleh penonton dari belahan dunia yang lain.

 

Jogja yang secara geografis tidak terlalu luas juga memberi keuntungan para penggiat perfilman Jogja bisa dengan mudah saling menyambangi untuk “ngangsu kawruh” atau sekedar berkumpul dan berbagi ide/pengalaman di meeting point, misalnya di Kinoki atau acara festival misalnya FFD. 

 

Kehadiran JAFF pertama di tahun 2006 pasca bencana gempa bumi Jogja semakin mensolidkan komunitas-komunitas film tersebut, karena banyak komunitas film di Jogja terlibat dan bekerja bersama dalam pelaksanaan JAFF. JAFF pun kemudian juga menjadi etalase penting untuk film-film Jogja dan menjadi festival yang memberi referensi film-film berkualitas dari region Asia.

 

Tahun berganti, komunitas komunitas film banyak yang kemudian bubar seiring anggotanya yang lulus kuliah dan kembali ke kampung halamannya. Beberapa komunitas dan rumah produksi film bertahan hingga hari ini, misalnya Fourcolors, Limaenam Films dan Lajar Tantjap. Dari awalnya memproduksi film pendek kemudian  berkembang memproduksi film panjang yang kemudian banyak beredar di layar layar bioskop Indonesia atau festival papan atas dunia. Generasi filmmaker selanjutnya  bermunculan misalnya Fajar Nugros, Ismail Basbeth, Yudha Kurniawan, Fajar Martha, Eden Junjung, Sidharta Tata, Agni Tirta, Khusnul Khitam, Makbul Mubarak, Loeloe Hendra, Wahyu Utami atau yang lebih muda lagi Reza Fahriansyah, Wahyu Agung dan lain lain. 

 

Beberapa nama di atas juga merupakan alumni penerima skema pendanaan perfilman Dana Keistimewaan (DANAIS) dari Pemda Yogyakarta. Pendanaan ini tentunya sangat membantu penggiat film Jogja untuk bisa memproduksi film pendek secara proper dan belajar manajemen produksi film yang baik karena selama produksi didampingi oleh supervisor yang semuanya praktisi perfilman yang kaya pengalaman. Skema pendanaan DANAIS ini  sekaligus bisa membantu filmmaker untuk  mempunyai portofolio film yang bagus sehingga bisa menjadi  bekal mencari pendanaan film di tingkat nasional atau  internasional. Keberadaan JFA (Jogja Film Academy) juga memudahkan generasi muda saat in untuk belajar film secara formal dan sebagian besar pengajarnya adalah praktisi perfilman Jogja dari sejak awal tahun 2000an yang tentunya bisa berbagi ilmu dan pengalaman secara lebih terstruktur. 

 

Infrastruktur perfilman di Jogja sekarang ini sudah lumayan komplit, dari lini edukasi, produksi, eksebisi dan apresiasi, yang kurang mungkin di lini distribusi. Keberadaan dunia digital saat ini memudahkan penggiat film berhubungan langsung dengan sistem distribusi yang ada baik, di level nasional maupun internasional, baik untuk platform online ataupun distribusi konvensional melalui jaringan bioskop.

 

Saat ini,  bisa dibilang Jogja memetik hasil dari gerakan perfilman yang dimulai dari sejak awal tahun 2000an. Gerakan yang awalnya berbasis komunitas, berbekal modal sosial yang tinggi kemudian bertumbuh secara organik dan disupport oleh kalangan akademisi dan seniman dan akhirnya juga mendapat dukungan  dari Pemda Jogja. Semoga gerakan ini juga bisa diduplikasi/ direplikasi di lain daerah sehingga perfilman di Indonesia semakin berkembang lagi. Terima kasih.

Dwi Sujanti Nugraheni

Dwi Sujanti Nugraheni

Jogja’s Filmmaker