Hanoman Award
Hanoman Award adalah program kompetisi film panjang yang ditujukan bagi sutradara berpengalaman dan bakat-bakat muda yang akan membentuk masa depan sinema Asia. Pemenang utama akan menerima penghargaan Golden Hanoman, sementara runner-up akan dianugerahi Silver Hanoman.
Eric Khoo
Eric Khoo adalah pendiri dan pimpinan Zhao Wei Films, yang dikenal sebagai sosok penting dalam kebangkitan industri film Singapura melalui film debutnya Mee Pok Man (1995). Karya-karyanya telah diundang ke berbagai festival film bergengsi seperti Toronto, Busan, Berlin, Telluride, Venice, dan Cannes. Film 12 Storeys tayang perdana di Cannes Official Selection pada tahun 1997, sementara Be With Me menjadi film pembuka Directors' Fortnight pada tahun 2005. Film panjang keempatnya, My Magic, dinominasikan untuk Palme d'Or pada tahun 2008. Tatsumi, film animasi pertamanya, ditayangkan perdana di Cannes edisi ke-64.
Khoo juga berperan sebagai produser eksekutif untuk serial HBO Folklore (Musim 1 & 2), Food Lore, Food Affair with Mark Wiens, dan Hungry Souls dari CJ Entertainment. Ia menyutradarai Spirit World, yang menjadi film penutup Busan International Film Festival 2024. Khoo pernah menjabat sebagai ketua juri di Locarno, Rotterdam, Bucheon, dan Asian Film Awards, serta menjadi anggota juri dalam kompetisi film pendek resmi Cannes.
Suryana Paramita
Suryana Paramita adalah produser film asal Indonesia yang dikenal atas dedikasinya dalam menghadirkan kisah-kisah kuat dengan visi sinematik yang segar dan menyentuh. Ia telah memproduksi berbagai film yang diputar di festival-festival internasional dan mendapat apresiasi luas dari penonton maupun kritikus.
Beberapa karyanya yang menjadi sorotan antara lain Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023), sebuah drama romantis yang menghangatkan hati dan dipuji karena narasinya yang intim, serta 1 Kakak 7 Ponakan (2024), drama keluarga yang sukses besar di box office nasional.
Pada tahun 2025, Suryana memproduksi SORE: A Wife from the Future (SORE: Istri dari Masa Depan), film yang berhasil menarik jutaan penonton di Indonesia dan terpilih mewakili Indonesia dalam kategori Best International Feature Film di ajang Oscar. Dengan latar belakang yang kuat dalam penceritaan dan pengalaman luas di industri kreatif, Suryana terus berkomitmen untuk membawa kisah-kisah Indonesia ke panggung dunia.
Tumpal Tampubolon
Tumpal Tampubolon adalah penulis skenario dan sutradara Indonesia, lulusan Institut Teknologi Bandung dengan gelar Sarjana Matematika. Ia meraih Piala Citra 2014 untuk Skenario Asli Terbaik melalui Tabula Rasa. Film pendeknya, Laut Memanggilku, memenangkan Sonje Award di Busan dan Piala Citra pada 2021. Debut film panjangnya, Crocodile Tears, tayang perdana di TIFF 2024 dan diputar di berbagai festival internasional. Ia mengklaim matematika membantunya menulis cerita, meski kucing dan anjingnya tidak sependapat.
NETPAC Award
NETPAC Award bertujuan untuk menggali beragam perspektif Asia melalui karya pertama atau kedua dari sutradara-sutradara yang memiliki potensi untuk membentuk masa depan sinema Asia.
Bunga Siagian
Bunga Siagian adalah seniman, periset, dan kurator film. Menyelesaikan studi masternya pada ilmu Cultural Studies. Memiliki ketertarikan dengan internasionalisme dan komitmen politik-sinematik kelompok kiri pada era dekolonisasi. Praktik artistiknya sering mengambil bentuk institusi, seperti Mother Bank dan BKP (Badan Kajian Pertanahan), proyek riset artistik yang fokus pada isu pertanahan, yang menempatkan praktiknya pada titik temu antara seni, komunitas, dan warisan kolonialisme.
Herman Van Eyken
Profesor Herman Van Eyken merupakan lulusan program Magister Seni Audiovisual dari Sekolah Film Nasional RITS di Brussels. Ia mendalami studi film di Italia di bawah bimbingan Prof. Mario Verdone dan Prof. Umberto Eco setelah menerima beasiswa dari Italia. Selama lebih dari 40 tahun, ia menyutradarai lebih dari 200 film, termasuk iklan, dokumenter, dan film panjang, yang mendapatkan pengakuan dan penghargaan di festival internasional. Pada tahun 1990, ia kembali ke RITS sebagai profesor dalam bidang Penyutradaraan Film, melanjutkan karirnya sebagai pendidik film yang membawanya mendirikan jurusan film pertama di Singapura di LASALLE. Ia pernah menjadi anggota juri di festival film internasional besar seperti Locarno, Busan, dan Venice 2001, menjabat sebagai Direktur Sekolah Film Griffith di Brisbane, Australia selama lebih dari 14 tahun, dan memimpin Asosiasi CILECT Asia Pasifik selama 8 tahun, meninggalkan jejak yang signifikan dalam sinema Eropa dan Asia Pasifik sebagai akademisi film, penulis, produser, dan sutradara.
Marissa Anita
Marissa Anita adalah aktris ternama Indonesia, jurnalis televisi, dan podcaster yang dikenal melalui kiprahnya di dunia film, televisi, dan platform digital.
Prestasinya di bidang perfilman dibuktikan dengan berbagai penghargaan bergengsi, termasuk Piala Citra dari Festival Film Indonesia untuk kategori Aktris Pendukung Terbaik berkat perannya dalam film Ali & Ratu Ratu Queens.
Filmografinya yang beragam memperlihatkan kedalaman akting dan komitmennya terhadap seni peran. Ia mendapat pujian kritis atas penampilannya dalam film-film Indonesia terkemuka seperti Perempuan Tanah Jahanam karya Joko Anwar, Crocodile Tears karya Tumpal Tampubolon, Istirahatlah Kata-Kata karya Yosep Anggi Noen, Yuni karya Kamila Andini, serta In the Absence of the Sun karya Lucky Kuswandi.
Keterlibatannya yang konsisten dalam dunia perfilman menjadikan Marissa Anita sebagai sosok penting dalam perkembangan sinema Indonesia. Tahun ini, ia bergabung sebagai juri JAFF, dengan antusiasme tinggi menjadi bagian dari keluarga besar JAFF.
Blencong Award
Ini adalah program kompetisi untuk film pendek Asia yang berkesempatan bersaing memperebutkan Blencong Award untuk film pendek Asia terbaik.
Henry Foundation
Henry Foundation adalah musisi dan seniman visual asal Jakarta yang dikenal melalui karyanya yang memadukan musik, visual, dan elemen kehidupan urban menjadi ekspresi budaya pop dan subkultur yang khas.
Sebagai salah satu pendiri Goodnight Electric, Henry telah merilis sejumlah album dan singel yang mendapat pengakuan luas dan turut membentuk lanskap musik elektronik-pop di Indonesia.
Di luar perannya dalam band, ia mengelola HFMF Records—sebuah label independen dan hybrid brand yang merefleksikan semangat do it yourself (DIY)—serta mengkurasi Mayhem Extended, pesta disko indie bawah tanah Jakarta yang diadakan secara sporadis sejak 2002, dikenal karena atmosfernya yang playful dan penuh kejutan.
Kreativitas Henry juga meluas ke dunia visual. Sebagai bagian dari duo sutradara The Jadugar (bersama Anggun Priambodo), ia telah menyutradarai berbagai video musik yang mempertegas posisinya di persimpangan antara suara, gambar, dan budaya kontemporer.
Khozy Rizal
Khozy Rizal adalah sutradara film asal Indonesia yang mulai meniti karier pada tahun 2021 melalui film pendek debutnya, Makassar is a City for Football Fans, yang tayang di berbagai festival internasional seperti Sundance dan BFI Flare.
Pada tahun 2023, ia menyutradarai film pendek Basri & Salma in a Never-ending Comedy, yang tayang perdana di Festival Film Cannes ke-76 dan menjadi film pendek Indonesia pertama yang berkompetisi untuk penghargaan Short Film Palme d’Or. Film tersebut kemudian diputar di lebih dari 100 festival di seluruh dunia, termasuk Sundance, Clermont-Ferrand, dan AFI Fest.
Tahun 2024, Khozy melanjutkan eksplorasinya melalui film pendek Little Rebels Cinema Club, yang tayang perdana secara internasional di Berlinale 2025 dalam kategori Generation Kplus dan berhasil meraih penghargaan Crystal Bear untuk Film Pendek Terbaik.
Ia juga merupakan alumni dari beberapa program bergengsi, antara lain Busan Asian Film Academy, Locarno Filmmakers Academy, dan Berlinale Talents, yang semakin memperkuat posisinya sebagai salah satu sutradara muda Indonesia dengan visi sinematik yang kuat dan mendunia.
Mary Pansanga
Mary Pansanga adalah kurator independen dan seniman asal Thailand yang berfokus pada seni kontemporer, khususnya dalam konteks gambar bergerak (moving image). Minat utamanya terletak pada eksplorasi lanskap kuratorial dan persepsi ruang dalam praktik seni.
Ia telah menyelenggarakan berbagai pameran, pemutaran film, dan proyek seni di ruang seni, festival film, serta platform budaya di berbagai negara. Proyek kuratorialnya meliputi In Transit (2013) di Art Center, Universitas Chulalongkorn; Multiple Planes (2018) sebagai bagian dari PhotoBangkok di Bangkok Art and Culture Centre; In Situ from Outside: Reconfiguring the Past in between the Present (2019) di Museum Nasional Bangkok; Orbiting Body (2024) di Bangkok Art and Culture Centre; serta Bangkok Experimental Film Festival ke-7 (2025).
Pada akhir tahun 2020, Mary memprakarsai proyek berkelanjutan berjudul “expensive to be poor”, dan sejak 2023 ia menjabat sebagai Direktur Program STORAGE, sebuah ruang seni independen di Bangkok.
Indonesian Screen Awards
Ini adalah program kompetisi film panjang di JAFF yang ditujukan bagi sutradara berpengalaman dan bakat muda yang memegang masa depan sinema Indonesia. Kategori ini akan memberikan 5 penghargaan: Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Cerita Terbaik, Sinematografi Terbaik, dan Penampilan Terbaik.
Amir Muhammad
Amir Muhammad adalah pembuat film dan penulis asal Malaysia yang aktif memproduksi film serta menerbitkan buku. Dua dari film dokumenternya, Lelaki Komunis Terakhir (2006) dan Apa Khabar Orang Kampung (2007), sempat dilarang tayang di Malaysia, namun mendapat perhatian luas di kancah internasional.
Melalui perusahaannya, Kuman Pictures, Amir telah memproduksi sejumlah film panjang dan dokumenter sejak 2019, termasuk Roh (2019) yang terpilih mewakili Malaysia di ajang Oscar, serta Pendatang (2023), film panjang Malaysia pertama yang sepenuhnya didanai melalui crowdfunding.
Selain di dunia film, Amir juga dikenal sebagai pendiri Buku Fixi, penerbit independen yang sejak 2011 telah menerbitkan lebih dari 300 judul buku dengan fokus pada genre urban pulp fiction.
Amir menyimpan kenangan istimewa saat menghadiri JAFF pertama pada tahun 2006, ketika, menurutnya, “sebagian dari kalian mungkin bahkan belum lahir.”
Antoinette Jadaone
Antoinette Jadaone adalah salah satu tokoh terkemuka dalam sinema kontemporer Filipina. Film terbarunya, Sunshine, meraih Crystal Bear di Berlinale Generation 2025.
Karya-karyanya dikenal karena kedalaman emosional dan resonansi budayanya yang kuat, menjadikan Jadaone sosok penting dalam perfilman Asia Tenggara. Film-film garapannya tidak hanya meraih kesuksesan box office, tetapi juga mendapat pujian kritis di berbagai festival internasional.
Selain berkiprah sebagai sutradara, Jadaone juga mendirikan Project 8 Projects, sebuah rumah produksi independen yang berkomitmen mendukung sutradara dan pencerita muda berbakat di Filipina.
Puiyee Leong
Leong Puiyee adalah manajer seni dan kurator film yang berbasis di Singapura. Sepanjang kariernya, ia telah mengelola berbagai proyek multimedia dan program film, termasuk sebagai Kepala Program Film Pendek di Festival Film Internasional Ho Chi Minh City (2024) serta anggota juri pra-seleksi untuk Asia Project Market di Festival Film Internasional Busan (2023–2025). Saat ini, ia menjabat sebagai Kepala Program (Film) di Objectifs, di mana ia bertanggung jawab atas pengelolaan berbagai program terkait film.
Geber Award
GEBER Award diberikan kepada film Asia terbaik dari karya pertama atau kedua sutradara yang memiliki potensi membentuk masa depan sinema Asia, dipilih oleh perwakilan komunitas film dari seluruh Indonesia. Penghargaan ini merupakan pernyataan dari komunitas film Indonesia untuk menunjukkan perspektif mereka terkait isu-isu yang terpinggirkan dan/atau kontroversial.
Dennis Adhiswara
Aktor/Founder Startup asal Indonesia.
Iam Murda
Muhammad Ilham Mustain Murda, atau lebih dikenal dengan nama Iam Murda, adalah produser, sutradara, dan penulis skenario asal Jayapura, Papua. Ia juga dikenal sebagai seniman pertunjukan, kurator, sekaligus akademisi yang aktif menghubungkan seni, pendidikan, dan masyarakat. Pada tahun 2016 ia mendirikan Indonesia Art Movement (IAM), sebuah kolektif yang menjadi wadah bagi seniman lintas generasi di Papua untuk berkarya dalam film, tari, seni rupa, musik, hingga proyek interdisipliner. Melalui IAM, ia berupaya memperkuat ekosistem kreatif berbasis komunitas dengan menekankan nilai kolaborasi, riset budaya, dan keberlanjutan. Di ranah akademik, Iam Murda mengajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua, dengan fokus pada kritik tari, manajemen seni, audio visual, serta kurikulum yang berpihak pada konteks lokal. Karya dan gagasannya berakar pada misi mengangkat seni Papua sebagai bagian dari wacana nasional dan global.
Siska Raharja
Siska merupakan alumni FSMR ISI Yogyakarta dan menjadi salah satu founder Kamisinema. Siska adalah founder dan produser di Elora Films. Hingga saat ini ia telah memproduseri banyak film pendek, beberapa di antaranya: Lost Wonders - Loeloe Hendra, Bunga dan Tembok Eden Junjung 2016, BURA - Eden Junjung dan Laila - Wucha Wulan Dari. Siska saat ini juga menjadi Direktur Kotabaru Heritage Film Festival. Siska adalah alumni SEAFIC, Torino Film Lab, dan menjadi 5 produser Asia yang terseleksi dalam Ties That Bind 2019.
Student Award
GEBER Award diberikan kepada film Asia terbaik dari karya pertama atau kedua sutradara yang memiliki potensi membentuk masa depan sinema Asia, dipilih oleh perwakilan komunitas film dari seluruh Indonesia. Penghargaan ini merupakan pernyataan dari komunitas film Indonesia untuk menunjukkan perspektif mereka terkait isu-isu yang terpinggirkan dan/atau kontroversial.
Andrienne Adelia
Andrienne Adelia adalah mahasiswa Film di Sekolah Tinggi Multimedia Yogyakarta angkatan 2024. Ia pernah menulis dan menyutradarai film pendek berjudul The River, serta film pendek lainnya yang berfokus pada tema eksplorasi karakter manusia. Andrienne adelia juga aktif sebagai Ketua dalam komunitas Forum Film MMTC. Fokus karya Andrienne Adelia adalah pada tema identitas dan dinamika emosi manusia, dengan tujuan menghadirkan film yang bermakna dan mampu menghubungkan penonton dengan cerita yang ia ciptakan.
Dimas Putro Utomo
Dimas Putro Utomo, atau yang akrab disapa Dimas, adalah mahasiswa S1 Film dan Televisi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia memiliki minat yang kuat pada aspek storytelling serta teknik audio dan visual. Selama masa studinya, Dimas aktif terlibat dalam berbagai proyek film pendek, berkontribusi sebagai penulis maupun produser. Ia juga tergabung dalam HIMA Film dan Televisi, di divisi Media Kreatif dan Informasi, serta menjadi bagian dari organisasi Kamisinema sebagai Programmer. Di luar kegiatan akademik, Dimas turut berpartisipasi dalam berbagai festival dan acara, salah satunya Festival Sewon Screening 11 sebagai Programmer Layar Utama dan program Main Event lainnya.
Fada Ramadhan Dhiya
Fada Ramadhan Dhiya, lahir di Sleman, Yogyakarta pada 31 Oktober 2004, merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia aktif sebagai anggota UKM Film MM Kine Klub UMY dan menjabat sebagai Kepala Divisi Produksi. Fada menekuni bidang sinematografi serta produksi film pendek, dengan keyakinan bahwa film adalah medium penyampaian pesan terkuat—ruang untuk menyalurkan nilai, rasa, dan pemikiran.
Ia telah terlibat dalam berbagai karya film pendek sebagai sinematografer dan asisten kamera, antara lain Temaram (2024), Palih Artha (2024), Foso se Boboso (2024), Tabrak Lucy (2024), dan Senandung Malam Kelam (2025). Salah satu karyanya sebagai sinematografer, Heaven Keepers (2024), meraih penghargaan Best Cinematography di Scription UMY 2025, Film Terfavorit Umum di Festival Film Lampung 2025, serta Best Short Movie di Socio Frame Competition 2025.
Fada juga berkesempatan menjadi lighting intern dalam film panjang karya Christine Hakim dan Garin Nugroho. Ia meyakini bahwa setiap karyanya berupaya menghadirkan visual yang tidak hanya estetis, tetapi juga bermakna dan jujur terhadap pesan yang ingin disampaikan.
Janssen Ewaldo
Janssen Ewaldo adalah sutradara, penulis skenario, dan editor asal Pontianak, Indonesia.Film pendeknya, Awan Awam Bertiup Menutupi Langit Biru, terseleksi di UI Film Festival 2023 dan Taylor’s University Film Festival 2024. Film berikutnya, 生日 Sang Nyit, terseleksi di Festival Film Hasanuddin 2025, Airlangga Cinema Festival 2025 dan Beijing International Short Film Festival 2025. Karyanya sering mengeksplorasi tema identitas budaya sebagai
orang Tionghoa-Indonesia. Ia memandang film sebagai media yang kuat untuk berbagi perspektif manusia yang beragam, memupuk pemahaman, dan mendorong refleksi tentang kehidupan kita sendiri.
Ramadhani Meautia Iffa
Ramadhani Iffa adalah mahasiswa tingkat akhir Ilmu Komunikasi, Marketing Communication, UPN “Veteran” Yogyakarta. Perjalanannya di dunia film dimulai sejak bergabung dengan Avikom Film, tempat ia menemukan ruang untuk bereksperimen dan bercerita lewat layar. Dari proses produksi, distribusi, hingga eksibisi, Iffa terus mengeksplorasi bagaimana film dapat menjadi medium pesan yang hidup dan berpengaruh.

