artwork 6

CLASSIC

Catatan Program: Classic

Pemutaran film di dalam gedung bioskop itu tidak adil. Film hanya diperuntukkan dalam periode tertentu di masa tertentu. Syukur-syukur bertahan tapi kebersyukuran itu pun hanya dalam hitungan bulan maksimal. Ketika kesenian itu seharusnya tidak lekang oleh waktu, apakah film dipandang bukan bagian dari sebuah kesenian? Pertanyaan sebaliknya apakah perlu film di masa yang berbeda ditonton ulang, terlebih lagi di dalam gedung bioskop? Apakah memiliki pengalaman yang sama dalam zaman yang berbeda itu dibutuhkan?

 

 

Film menjadi sangat penting untuk ditonton kembali dengan beragam alasan penting. Mulai dari nostalgia, riset pengetahuan, atau yang lebih penting lagi untuk melihat sejauh mana manusia, dalam hal ini yang paling akan dengan sangat jelas terlihat pembuat filmnya, berpikir dan menuangkannya ke dalam sebuah film. Manusia bertumbuh dari sejarahnya. Begitupula film. Ingatan-ingatan yang kemudian diwariskan sesungguhnya dapat memperkuat masa mendatang. Untuk itu film perlu lestari guna menjawab darimana kita berasal, sudah sejauh mana kita melangkah dan sekaligus pembuktian-pembuktian. Bayangkan jika kita tidak pernah menonton film A tapi tulisan menyebut film A adalah salah satu film terbaik. Ingin mengamini tapi tidak teruji.

 

 

Adalah menjadi perlu karena film biasanya akan dibuat untuk menuju bentuk pemutaran yang paling mutakhir (bisa dicatat sebagai perkembangan teknologi juga). Maka dalam kondisi yang maksimal, film dapat sampai ke penontonnya juga dengan maksimal. Dari sana, pengubahan pemikiran penonton juga dapat terlihat seiring berkembangnya zaman. Itulah yang menjadi alasan mengapa program Classic ini perlu walaupun jumlahnya belumlah sebanyak program lainnya.

 

Ratna Asmara merupakan nama yang penting. Namanya sukar ditemukan dalam sejarah film Indonesia. Mungkin karena banyak catatan sejarah film Indonesia dimulai dari generasi Kuldesak ke depan atau mungkin namanya tercecer dalam tulisan-tulisan yang berceceran atau bahkan hilang ditelan waktu. Jauh sebelum nama-nama yang kita kenal sekarang, Ratna Asmara adalah sutradara perempuan pertama Indonesia. Kerja keras usaha dari kawan-kawan Liarsip yang kemudian memperkenalkan ulang siapa dan apa yang telah dilampaui Ratna Asmara. Pada JAFF 17 kali ini, kami mengajak Liarsip untuk mempresentasikan dan mengenalkan Ratna Asmara dan juga filmnya Dr. Samsi. Dr. Samsi yang tercatat rilis tahun 1952 telah didigitalisasi, sebagai bentuk upaya paling awal merawat ingatan Ratna Asmara dan filmnya. Seperti kebanyakan arsip kita yang tak jelas nasib dan bentuknya, mungkin kita akan melihat goresan atau kualitas yang tidak sepenuhnya prima.

 

Tahun ini kami juga menayangkan dua film dari Wong Kar-Wai yang telah diakui seluruh dunia, In the Mood for Love dan Chungking Express. Tahun lalu sebenarnya kami mengundang film ini, akan tetapi kesempatan akhirnya datang pada edisi ke-17 ini. Tidak apa-apa. Yang penting akhirnya bertemu penontonnya. Dua film ini mungkin bagi beberapa generasi hanya bisa disaksikan dalam layar yang lebih kecil. Sayang sekali karena begitu melihat filmnya maka terasa akan lebih optimal jika ditonton di layar besar, di dalam gedung bioskop. Sebuah kesempatan yang langka bagi pencinta film dan penggemar sinema dunia.

 

Jadi apakah perlu kita menonton film-film ini? Jawabannya dengan mudah dan tegas: iya.

CLASSIC

Wong Kar Wai | 102 minutes | 1994 | Hong Kong | Narrative Cantonese | sub. English | 17 +

Ratna Asmara | 88 minutes |1952 | Indonesia |Narrative | Indonesia | sub. English | 13+

Wong Kar Wai | 98 minutes | 2002 | Hong Kong | Narrative Cantonese | sub. English | 13+