Skip links

Merawat Ingatan, Merayakan Pertumbuhan: Peluncuran Dua Buku Monumental di 20 Tahun JAFF

Perjalanan dua dekade Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) bukan sekadar tentang pemutaran film, melainkan sebuah perjalanan panjang merawat ekosistem, komunitas, dan pengetahuan. Semangat inilah yang terangkum dalam acara peluncuran buku “Lintasan Cahaya Asia: 20 Tahun JAFF” dan “Garin: Made in Indonesia” yang digelar di Artotel Suites Bianti, Yogyakarta, pada Minggu (30/11).

Dalam suasana hangat yang dihadiri oleh para pendiri, sahabat festival, dan sineas, acara ini menjadi momen reflektif untuk menengok kembali akar rumput JAFF yang kini telah bertransfigurasi menjadi salah satu festival film paling berpengaruh di Asia. Buku “Lintasan Cahaya Asia: 20 Tahun JAFF” hadir sebagai upaya pengarsipan memori kolektif festival. Buku ini merekam jejak JAFF dari inisiatif berbasis komunitas pasca-gempa Yogyakarta 2006 hingga menjadi institusi yang mapan. Sementara itu, “Garin: Made in Indonesia” menelusuri karier panjang Garin Nugroho, tidak hanya sebagai maestro new wave sinema Indonesia, tetapi juga sebagai pendidik yang melahirkan generasi baru pembuat film.

Budi Irawanto, Presiden Festival JAFF, menekankan pentingnya buku ini sebagai bentuk produksi pengetahuan. “JAFF unik karena tidak hanya memutar film, tetapi juga mencoba memproduksi pengetahuan. Sejak awal, kami menerbitkan buku, mengadakan public lecture, dan menjadikan festival ini sebagai ‘kampus’ kedua bagi kami semua,” ujarnya. Ia mengenang bagaimana JAFF dimulai dari nol infrastruktur, namun tumbuh berkat semangat belajar yang tak henti.

Wong Tuck Cheong (Pak Ticie), perwakilan NETPAC sekaligus editor buku “Garin: Made in Indonesia”, membagikan kenangan personalnya tentang JAFF. Ia mengingat masa-masa awal festival di Taman Budaya Yogyakarta pada tahun 2006, di mana ia sering diajak berburu buku bekas di pasar dekat venue oleh Festival Kurator Philip Cheah. “Kesan mendalam saya terhadap JAFF adalah community spirit-nya. Saya belum pernah ke banyak festival di Indonesia, tapi saya bisa katakan bahwa di Asia, semangat komunitas di JAFF ini unik,” ungkap Pak Ticie. Semangat inilah yang memotivasi dirinya untuk mengusulkan ide buku ini kepada Garin Nugroho, sebagai bentuk penghormatan atas kreativitas dan aktivisme tim JAFF yang dinamis.

“Saya menyukai petualangan. Jika saya menemukan sesuatu yang baru, seperti peta baru dalam perjalanan, saya akan mengerjakannya. Entah itu gaya timnya, pendanaannya, atau teknologinya,” ujar Garin. Ia mengibaratkan JAFF dan karya-karyanya sebagai sebuah hutan dengan keragaman tanaman; setiap karya tumbuh berbeda dengan bentuk, pasar, dan penontonnya masing-masing.

Bagi Ifa Isfansyah, Direktur Festival, 20 tahun JAFF adalah perjalanan transformasi personal yang berjalan beriringan dengan festival. “Dua puluh tahun ini secara transfigurasi memang mengubah banyak hal. Dulu saya bahkan tidak percaya diri untuk menunjukkan kota ini ke tamu internasional karena minimnya bioskop. Tapi kini, kita semua tumbuh bersama,” ungkap Ifa. Ia mengakui bahwa meskipun skala festival telah membesar, merawat apa yang “sama” tetaplah penting: komunitas, semangat anak muda, dan kerelawanan. “Yang membuat berkembang bukan saya, tapi kolaborator dan semangat gotong royong yang ada,” tutupnya.

Peluncuran kedua buku ini menegaskan bahwa di usia ke-20, JAFF dengan tema Transfiguration tidak hanya merayakan pencapaian sinematik, tetapi juga mengukuhkan posisinya sebagai ruang temu yang inklusif, di mana sejarah dicatat dan masa depan sinema Asia terus dirajut.

Penulis : Pulung Aruna Bhumi
Foto: Tim Dokumentasi JAFF

Leave a comment