artwork 4

MAIN COMPETITION

Catatan Program: Main Competition

Ada kalanya orang membedakan antara pemahaman dalam kesadaran dengan perubahan. Pemahaman kerap dianggap tidak berguna jika tidak disertai perubahan. Padahal keterkaitan keduanya tidak demikian. Perubahan hanya dimungkinkan jika pertama-tama sudah terjadi perkembangan pemahaman dalam kesadaran dan pikiran. Pergeseran pandangan dalam pikiran sendiri sudah menunjukkan terjadinya perubahan. Dalam berbagai persoalan kemanusiaan, perubahan kerap sulit dilakukan karena pihak yang berada dalam posisi tidak berdaya dan tertindas pertama-tama tidak menyadari bahwa situasi yang dihadapinya tidak terjadi alamiah begitu saja. Sebaliknya, hanya karena seseorang tidak menyadari adanya masalah, bukan berarti masalah itu tidak ada. 

 

Perubahan cara kita memaknai kehidupan, selanjutnya akan tercermin melalui cara kita bersikap pada dunia. Perubahan ini, dengan demikian, tidak lagi hanya berdampak pada diri sendiri, melainkan juga pada banyak orang dan lingkungan: melalui pertanyaan, redefinisi, gugatan, dan perlawanan. Dengan keunikan bertutur masing-masing karya, gambaran situasi tersebut dapat kita saksikan dalam film-film kompetisi utama Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022.

 

Leonor Will Never Die (Martika Escobar Ramirez, Filipina) dan 24 (Royston Tan, Singapura) mengeksplisitkan elemen-dalam-film ke dalam film mereka. Leonor Will Never Die memperlihatkan kehendak seseorang penulis naskah untuk menyempurnakan imajinasinya. Sementara 24 mengikuti perjalanan seorang sound recordist untuk kali terakhir mengabadikan dunia lewat suara-suara yang dihadirkannya. Seperti 24, Let Me Hear it Barefoot (Riho Kudo, Jepang) juga menghadirkan kisah perekaman suara. Film ini mengeksplisitkan tubuh sebagai medan pengalaman manusia, tidak terkecuali sisi afeksi. Seiring dengan keinginan untuk menjelajahi dunia bersama orang yang dicintai, manusia menyadari jarak dan limitasi.

 

Dengan memadukan dokumenter dengan animasi dan kolase, Silver Bird and Rainbow Fish (Lei Lei, Cina) mencoba melakukan retrospeksi atas perjalanan hidup keluarganya selama tiga generasi. Perubahan kedirian berjalinan erat dengan perubahan waktu dan zaman. Upaya menelusuri asal-usul diri hadir pula dalam Return to Seoul (Davy Chou, Kamboja). Bersama film ini penonton akan diajak menyelami krisis eksistensial dan kerumitan batin seseorang yang “kembali pulang”. Apakah penerimaan dan pemahaman dapat serta-merta berarti pemaafan? Dinamika keluarga kembali hadir dalam Like a Fish on the Moon (Domaz Hajiha, Iran) yang mempertanyakan ulang eksistensi anak dalam keluarga, dan sekaligus pula, dalam masyarakat.

 

Dalam Arnold is a Model Student (Sorayos Prapapan, Thailand), sekolah yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu dan memanusiakan manusia, malah menjadi institusi yang mengajarkan dan melanggengkan penindasan sejak dini. Sekolah seakan menjadi miniatur dari bagaimana negara bekerja. Sementara itu, Autobiography (Makbul Mubarak, Indonesia) memotret bagaimana teror hadir seiring kesetiaan melanggengkan hirarki secara turun-menurun. Seperti Arnold is a Model Student, Autobiography juga mengajak penonton meredefinisi nilai kesetiaan dan kepatuhan.

 

Siklus kekerasan kembali muncul dalam Killing the Eunuch Khan (Abed Abest, Iran). Melalui sinematografi yang memukau dalam warna merah dan kepekatannya, penonton dituntun melewati mimpi buruk dan cakrawala kehancuran tanpa akhir. The Brittle Thread (Ritesh Sharma, India ) adalah sebuah metafora tentang betapa rapuhnya kemanusiaan di hadapan perbedaan. Suara lonceng dan nyaringnya doa seakan tidak sanggup menyelamatkan sebuah kota multikultural dari tragedi. The Newspaper (Sarath Kothalawala, Kumara Thirirmadura, Sri Lanka) dapat menggambarkan perjalanan panjang pencarian kebenaran, setelah “nasib” sebuah keluarga diporak-porandakan oleh penyebaran informasi. 

 

Dua sutradara perempuan dalam kompetisi utama memilih untuk memotret perlawanan perempuan dalam masyarakat patriarkis. Like & Share (Gina S. Noer, Indonesia) menyoroti keterkaitan antara perempuan, teknologi, dan kekerasan. Dan terakhir, film Before, Now and Then (Kamila Andini, Indonesia) menggarisbawahi bagaimana upaya perempuan untuk menggapai kebebasan tidak dapat dilepaskan dari konteks dunia yang dihidupinya. 

 

Demikianlah 13 film dari 10 negara dalam kompetisi utama. Delapan dari 13 film tersebut merupakan karya debut penyutradaraan film panjang. Jumlah tiga belas sendiri bukanlah sesuatu yang disengaja. Sebab membludaknya jumlah pendaftar, ditambah film-film rekomendasi, membuat proses kurasi dan penentuan karya yang masuk ke dalam program kompetisi utama menjadi tidak mudah dan sengit.



Alexander Matius

Gorivana Ageza

main competition

Royston Tan | 76 minutes | 2021 | Singapore | Narrative | English, Mandarin, Various Chinese Dialects | sub. English | 21+

Sorayos Prapapan | 86 minutes | 2022 | Thailand, Singapore, France, Netherlands, Philippines | Narrative | Thai | sub. English | 13+

Makbul Mubarak | 116 minutes | 2022 | Indonesia | Narrative | Indonesian | sub. English | 17+

Kamila Andini | 103 minutes | 2022 | Indonesia | Narrative | Sundanese | sub. English | 17+

Abed Abest | 110 minutes | 2021 | Iran | Narrative | Persian & Arabic | sub. English | 17+

Martika Escobar Ramirez | 99 minutes | 2022 | Philippines | Narrative | Tagalog | sub. English | 17+

Riho Kudo | 128 minutes | 2021 | Japan | Narrative | Japanese | sub. English | 13+

Gina S. Noer | 111 minutes | 2022 | Indonesia | Narrative | Indonesia | sub. English | 17+

Domaz Hajiha | 78 minutes | 2022 | Iran | Narrative | Farsi (Iran) | sub. English | 13+

Davy Chou | 117 minutes | 2022 | Cambodia | Narrative | French, Korean, English | sub. English | 13+

Lei Lei | 104 minutes | 2022 | China | Animation | Chinese | sub. English | 13+

Ritesh Sharma | 97 minutes | 2021 | India | Narrative | Hindi, English, Hebrew, Bhojpuri | sub. English | 17+

Sarath Kothalawala, Kumara Thirirmadura | 90 minutes | 2020 | Sri Lanka | Narrative | Sinhala | sub. English | 13+