Skip links

ANIMASI CLUB BERTANDANG KE JAFF19, BAHAS TANTANGAN AI BAGI ANIMATOR

Pertumbuhan animasi di Indonesia kian berkembang, dibuktikan dengan tayangnya animasi karya anak bangsa seperti Adit dan Sopo Jarwo atau Nussa di televisi dan kanal YouTube. Kali ini, JAFF19 menghadirkan public presentation dengan narasumber Hizkia Subiantoro, founder Animasi Club Yogyakarta sekaligus inisiator CRAFT International Animation Festival.

Dihadiri oleh para komunitas animator maupun umum, Hizkia mengungkapkan animasi masih dianggap sebagai film anak padahal animasi itu teknik seperti halnya pelukis melukis lukisan surealisme menggunakan media kanvas dan cat air. Era keemasan animasi berlangsung sekitar tahun 1928-1960 ketika perusahaan animasi Disney dan Warner Bros masif memproduksi film animasi yang mendominasi pasar film dunia.

Tidak hanya film, animasi juga muncul di game konsol bahkan menjadi alat untuk mencapai tujuan. Animasi merupakan media storytelling yang kemudian berkembang menjadi pop culture. Seperti anime, yang kerap menampilkan makanan Jepang dan akhir-akhir ini malahan ada pula anime yang menampilkan makanan dari Indonesia.

Artificial Intelligence (AI) dipakai dalam animasi karena ada hasrat menginginkan karya yang sempurna. Perkembangan teknologi AI ini tentu akan sangat mendorong kemajuan juga bagi para animator, namun yang menjadi salah satunya tantangannya adalah tingginya biaya software yang digunakan untuk membuat suatu video atau film. Kondisi ini membuat animator pemula terpaksa membajak software. Selain itu, prompt yang diketik untuk menghasilkan suatu karya sesuai keinginan harus detail. Jenis AI yang dipakai dalam animasi di antaranya rotoscope video, hybrid live action, dan synthetic AI media. Di sisi lain, AI bermanfaat bagi animator untuk menggali ide untuk kemudian digabungkan dengan gambar manual sehingga tambah produktif berkarya. Kata penutup dari Hizkia, “Berkaryalah sampai karyamu dikira AI”.

News Contributor: Lorem Ipsum

Photos: JAFF Documentation Team