artwork 6

Messages from Festival Curator

Si Dungu—Bagian Akhir

Suatu kali saya pernah merasa seperti orang dungu berdiri di sisi akademisi film terkemuka dari Sri Lanka, Wimal Dissnayake. Saat itu, kami hadir dalam konferensi tentang sinema Asia di Hawaii, dan saya baru menyadari bahwa teks-teks tentang film Asia ditulis oleh orang-orang non-Asia. Inilah pokok pikiran penting yang didedahkan Edward Said dalam buku klasiknya Orientalism (1978) di mana ia mengamati bahwa pengetahuan tentang Asia kerapkali ditangkap, dikatalogisasi serta dikonsumsi oleh orang-orang non-Asia yang menganggap dirinya merupakan suara otoritatif tentang Asia. Kenyataannya, mengikuti amatan Edward Said, pakar di Barat menyitir pakar dari Barat lainnya tentang Asia (alih-alih pakar dari Asia) demi meneguhkan dominasinya. Momen di Hawaii membuat saya malu. Wimal tak menanggapi sepatah kata pun pertanyaan retoris saya, tapi bagaimana mungkin? Ia telah mempublikasikan lebih dari 300 buku tentang film Asia. Jawaban apa pula yang mesti ia berikan? 

 

Setelah beberapa tahun berlalu, saya berpikir bahwa WAKTU memberi kita kesempatan, tapi kadangkala sebuah perangkap. Kesempatan dari waktu adalah mempengaruhi perubahan. Perangkap itu adalah ketika tanpa sadar mengulang kesalahan masa lalu. Sebagaimana sebuah klise yang kondang, “Sejarah berulang.” Waktu memerangkap kita karena ingatan kita terbatas. Waktu itu sendiri tak memiliki akhir, tapi ingatan kita pendek. Para propagandis amat mengerti hal ini. Mengerti bahwa ingatan itu pendek, rezim Soeharto terus mempertontonkan film Pengkhianatan G30S/ PKI setiap tanggal 30 September untuk mengulang-ulang mantra legitimasi Orde Baru. Tapi, kesempatan dari waktu, sebagaimana hal yang baik gampang dilupakan, bisa menjadi hal yang buruk.

 

Sisi ingatan pendek saya menjadikan saya berpikir mengenai pendekatan filosofis saya dalam menangani program JAFF.  Selama 17 tahun, saya menggunakan disiplin penting yang berasal dari pendidikan saya sebagai pekerja sosial—keteguhan hati. Dalam mempraktikkan prinsip ini, secara sadar saya menerapkan sikap non-intervensi kapan pun saya melihat program setiap tahunnya. Selama beberapa tahun, saya mengatakan pada para juru program agar mereka mempercayai pilihan mereka sendiri. Selama bertahun-tahun saya menyaksikan sejumlah festival dengan penasehat orang asing yang memaksakan kehendaknya  terhadap suara lokal. Ini tak lain aspek kultur modern dari pasca-kolonialisme. Saya tak ingin hal itu terjadi pada JAFF, sebagaimana pendiri JAFF Garin Nugroho dan saya,  berjuang di berbagai medan tempur untuk mengukuhkan suara lokal. Inilah barangkali alasan utama memilih menjadi festival film Asia ketimbang festival film internasional. Suara Asia mesti didukung dan dipromosikan karena sebelumnya ia tak terlampau keras terdengar. Lagi pula, penting bagi kita agar suara lokal Asia menjadi kian lantang.

 

Lebih jauh, jika JAFF berhasil, maka model tak turut campurnya juru program asing  bisa dimapankan dan dipromosikan. JAFF bisa menjadi contohnya. Sahabat saya yang menyelenggarakan festival film pernah mempekerjakan juru program asing kondang untuk berkontribusi dalam program yang dirancangnya. Ia banyak berkonflik dengan juru program asing itu selama beberapa tahun. Berlatar bukan sebagai orang Asia, sahabat saya tak begitu  peduli,  barangkali  kurang ada beban sejarah diperintah oleh orang asing. Tapi ingatan itu boleh jadi hanya ingatan saya belaka. Semakin sedikit orang yang memiliki kedekatan dengan perjuangan dalam mengukuhkan ruang  untuk  menemukan suara Anda sendiri.  Dalam keyakinan yang baru,  ruang bebas itu sebagai sesuatu yang diterima begitu saja  sebagaimana masa-masa sebelumnya. Oleh sebab itu, tidaklah merasa perlu berjuang mati-matian demi ruang bebas itu dan tak perlu ada rasa puas karena telah memilikinya.

 

Akan tetapi, apakah seleksi film itu sendiri? Kompas macam manakah yang kita gunakan untuk menakar selera? Apakah kita melihat film-film yang telah terseleksi dan meraih penghargaan pada festival-festival besar?  Atau, apakah kita mengikuti senandung dari jalanan kecil? Sebuah jalan yang lebih mudah dilalui ketimbang yang lain.  Lantas, sekali lagi, senantiasa ada jalan tengah. Di antara dua dunia, tidak di sini atau di sana, si dungu berjalan. Ia tersenyum. Ia mendengar. Ia tertawa. Mata butanya terbuka…

Philip Cheah

Philip Cheah

Festival Curator