Catatan dari Hari-Hari Menjelang Kematian

Philip Cheah
Festival Curator
“Mata saya menyapu dari tepian gunung-gunung ke arah yang lain. ‘Apakah mereka meninggalkan kita selama-lamanya?”
“Gunung-gunung? Aritomo mengatakan, seakan-akan ia pernah ditanyai sebelumnya. “Mereka akan sirna. Sebagaimana hal-hal yang lain.”
- Dari novel The Garden of Evening Mists karya Tan Twan Eng (Malaysia, 2012)
Sahabat saya di Laos mengoleksi kaos-kaos Nike klasik. Selama 20 tahun hidupnya, dia menghayati prinsip: “Just Do It.” Lakukanlah apa yang menjadi fokus kita dalam hidup ini. Ketika saya mulai berbicara tentang masa pensiun, rentetan pertanyaan lantas mengiringi ” tapi apa yang akan Anda lakukan?” Seandainya saja saya adalah kaos Nike, saya pasti tahu apa yang harus saya katakan.
Sahabat saya yang lain bekerja di sebuah panti jompo, panti jompo banyak bermunculan di Singapura, karena diperkirakan akan terjadi lonjakan jumlah lansia di tahun 2030; jumlah lansia di Singapura akan mencapai angka tertinggi di tahun tersebut, satu dari empat warga negaranya akan berusia di atas 65 tahun. Dia mengatakan bahwa para lansia kerap kali datang sekadar untuk berinteraksi dengan sesama. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka “lakukan” pada diri mereka sendiri.
Melakukan sesuatu dan menjadi sesuatu adalah dua kondisi pikiran yang berbeda. Banyak dari kita yang “melakukan” karena kita telah lupa bagaimana cara “menjadi”. Melakukan sesuatu seolah-olah pilihan yang lebih baik daripada bersikap tenang saat kita bingung bagaimana menjadi sesuatu. Menjadi sesuatu adalah kondisi kesadaran penuh seperti makan perlahan-lahan saat kita mencoba merasakan semua bumbu dan tekstur yang berbeda dalam sesuap makanan. Atau sadar penuh saat berjalan kita merasakan setiap langkah yang kita ambil, dengan menghargai penuh lingkungan tempat kita berada.
Tahun ini, saya menonton lagi sebuah film yang membuat saya bersemangat terhadap dunia perfilman. Film terbaru Ismail Basbeth, Sara (2023), adalah sebuah pernyataan tentang “menjadi”. Film ini berkisah tentang seorang transpuan (diperankan oleh perancang busana, Asha Smarra Dara), yang kembali ke kampung halamannya untuk tinggal bersama ibunya (diperankan oleh Christine Hakim). Setelah 20 tahun tinggal di kota, ia kembali untuk menghadiri pemakaman ayahnya. Namun karena trauma kehilangan pasangannya, ibunya mengalami demensia dini; dia tidak mengingat Sara sebagai anak. Karena merasa putus asa dalam berkomunikasi dengan ibunya, dia membuat keputusan menyakitkan yaitu memotong rambutnya. Namun, keputusan yang lebih menyakitkan lagi adalah ia harus menjadi orang yang selalu ia benci–ayahnya. Tanpa menambahkan lebih banyak spoiler dalam komentar ini, film ini menyajikan keadaan lain yang terpaksa harus diterima sang tokoh hingga akhir film.
Dari karya-karya Basbeth, saya sangat menyukai Mencari Hilal ( The Crescent Moon, 2015) dan bukan suatu kebetulan jika film tersebut diangkat dari kisah hidup ayah sang sutradara, sedangkan Sara diangkat dari kisah hidup mendiang ibunya. Sara karya Basbeth , merupakan sebuah eksplorasi dari berbagai keadaan yang kita hadapi sepanjang hidup kita. Dalam banyak situasi, kita dipaksa untuk menjadi atau menjadi orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Untuk mengatasi keadaan tidak menyenangkan ini, akhirnya kita hanya bisa “just do it”. Tetapi tindakan itu tidak meniadakan situasi “menjadi” tersebut. Sara tidak bisa kembali menjadi dirinya yang dulu. Dia hanya bisa kembali sejenak untuk memenuhi perannya sebagai anak yang berbakti. Karena selepas itu, semua akan sirna…
