Public Lecture: Reflecting Asian Cinema: Recognition or Visibility?

Tahun ini, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) merayakan tujuh belas tahun penyelenggaraannya sejak 2006. Dalam konteks psikologi perkembangan, usia ketujuh belas lazimnya menandai perkembangan penting manusia baik secara fisik maupun psikologis. Selain itu, usia ketujuh belas memiliki pertautan erat dengan puncak dari usia remaja serta kemudaan yang sarat dengan energi, keingintahuan maupun kreativitas. Keterbukaan yang menyertai usia ketujuh belas itu menyiratkan keberanian melawan konvensi atau kemapanan.

 

Diilhami oleh perkembangan manusia itu, maka JAFF menghadirkan ‘Blossom’ sebagai tema festival tahun ini yang menandai kemudaannya. Lebih jauh, ‘Blossom’ menyimbolkan pembaruan dalam moda produksi, penjelajahan artistik dan tematik serta meruyaknya bakat-bakat baru dalam lanskap sinema Asia di tengah pandemi yang seakan tak pernah usai ini. Utamanya, ‘Blossom’ menyodorkan harapan dan mimpi baru bagi sinema Asia di era yang ditandai oleh tingginya risiko, kerentanan, dan ketidakpastian dalam nyaris semua aspek kehidupan kita. Seiring dengan perjalanan menuju kematangan yang utuh, masa depan pun merekah dengan segenap kemungkinannya. 

 

Bergerak melampaui pengakuan global serta banjir penghargaan, sinema Asia memasuki fase baru yang ditandai oleh pelbagai kisah, tema dan stilistika baru. Semua itu merupakan karya generasi baru pembuat film Asia yang senantiasa merawat capaian sinematik yang mengagumkan seraya mengusung berbagai persoalan sosial dan politik yang penting. Dengan menggunakan metafora ‘Blossom,’ kita bakal mampu mengenali kesegaran maupun watak inventif  sinema Asia.

LPP 1 | WED, 30 NOV| 15:00 - 17:00

Speakers

Isabelle Glachant

Isabelle Glachant

Isabelle Glachant memulai karirnya sebagai reporter di stasiun TV Prancis Canal +. Dia kemudian pindah ke perfilman sebagai produser eksekutif SHANGHAI DREAMS (WANG Xiaoshuai, Festival Film Cannes, Hadiah Juri, 2005). Sejak itu, dia telah bermain di beberapa film WANG Xiaoshuai, termasuk "11 Flowers", produksi resmi Prancis-Cina pertama, dan telah bekerja dengan sutradara seperti LI Yu, LU Chuan, dan LOU Ye. Glachant adalah pendiri perusahaan produksi CHINESE SHADOWS di Hong Kong dan SHASHA & CO PRODUCTION di Prancis. Perusahaan-perusahaan ini telah membuat film seperti "Three Sisters" karya WANG Bing (Penghargaan Film Terbaik Venezia Orizzonti, 2012), film dokumenter "Chinese Potrait" karya WANG Xiaoshuai (Festival Film Internasional Busan, 2018), dan "Marlina The Mur" karya Mouly Surya. Glachant juga memulai International Boutique Sales Company ASIAN SHADOWS, yang mewakili film-film karya talenta, Maestro dan pendatang baru Asia seperti "Coming Home Again" oleh Wayne WANG, "Siti" oleh Eddie CAHYONO, dan "Memories of My Body" oleh Garin Nugroho. Kementerian Kebudayaan Prancis menjadikan Glachant sebagai Knight of the Order of Arts and Letters, dan dia juga merupakan perwakilan Greater China untuk French Industry Promotion association UniFrance.

Kamila Andini

Kamila Andini

Kamila Andini adalah seorang ibu dan pembuat film yang tinggal di kota Jakarta, Indonesia. Ketertarikannya pada isu sosial budaya, kesetaraan gender, dan lingkungan mendorongnya untuk bercerita melalui film dari sudut pandang penceritaan yang khas. Pada tahun 2011, ia membuat film panjang pertamanya, "Laut Bercermin," yang bercerita tentang seorang pengembara laut di lautan Indonesia. Dan pada tahun 2017, ia merilis film keduanya, "The Seen and Unseen", yang didasarkan pada dualitas filosofi Bali Sekala Niskala. Kedua film tersebut telah berpartisipasi lebih dari 50 festival film di seluruh dunia dan memenangkan sekitar 30 penghargaan, termasuk Grand Prix winner best feature film di Berlinale Generation kplus 2018. Film panjang ketiganya, "Yuni", ditayangkan perdana di Toronto International Film Festival 2021 dan memenangkan Platform Prize. Film panjang keempatnya "Nana" (Before, Now & Then) berkompetisi di Berlinale 2022 dan memenangkan Best Supporting Performance, dan juga Best Film di Asia Pacific Screen Award 2022.

Phillip Cheah

Phillip Cheah

Philip Cheah adalah kritikus film dan editor BigO, satu-satunya majalah budaya pop independen di Singapura. Dia bekerja sebagai konsultan program dan penasehat festival film di Shanghai (China), El Gouna (Mesir), River Meets Mountain (India), Adoor (India), Yogyakarta (Indonesia), dan Hanoi (Vietnam) (Vietnam).

Dia turut mendirikan South-east Asian Film Festival and the Asia Pacific Screen Lab, dan dia adalah teladan di SEA (South-east Asia) Screen Academy di Makassar, Indonesia. Ia juga penasihat spiritual di Bakunawa Young Cinema Film Festival, Filipina. Dia merupakan co-editor dari buku Garin Nugroho: And the Moon Dances, Noel Vera: Critic After Dark, dan Ngo Phuong Lan: Modernity and Nationality in Vietnam Cinema. Dia menerima Penghargaan Kehormatan dari Cinemalaya Independent Film Festival ke-15 pada tahun 2019, penghargaan untuk Achievement in the Promotion of Kyrgyz film by the Kyrgyzstan Film Critics pada tahun 2010, penghargaan untuk mempromosikan film Vietnam oleh Vietnam Cinema Association pada tahun 2008, Penghargaan untuk Sinema Asia pada Cinemanila International Film Festival ke-8 pada tahun 2006, dan Penghargaan Sinema Korea pada Pusan International Film Festival ​​ke-9 pada tahun 2004.

Moderator

Budi Irawanto

Budi Irawanto

Budi Irawanto adalah seorang Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain berprofesi sebagai seorang Dosen, ia juga digunakan sebagai Festival Director di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) sejak Agustus 2006 hingga saat ini.

Budi adalah lulusan sarjana komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lalu ia melanjutkan studinya ke jenjang Master of Arts (MA), Media and Information Studies, Curtin University, Australia. Pada tahun 2015 ia berhasil meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.), Southeast Asian Studies di National University of Singapore / NUS.