Usia remaja, 17 tahun, pastilah dipenuhi gejolak perjalanan baru dalam peta baru. JAFF menghadapi beragam fenomena, sebutlah era baru ekosistem media baru dengan arus deras OTT, berbagai platform penayangan film di Media Sosial, bermunculannya Festival baru di berbagai wilayah Indonesia maupun cara – cara kerja baru festival-festival International, khususnya dengan beragam workshop dan program funding, serta relasinya dengan distribusi, maupun dinamika baru komunitas dan perfilman Indonesia.
Catatan khusus, JAFF berhadapan dengan surplus demografi penduduk usia muda, yakni sekitar 60 persen penduduk Indonesia berusia 18-38 tahun, generasi yang akrab dengan ekosistem media baru dan mempunyai cara -cara sendiri membaca seni dan hiburan termasuk film.
Saya mencoba lewat tulisan ini, membaca ulang pemikiran dibalik berdirinya Jaff. Yakni, latar belakang pemikiran, ketika berbincang dan mengajak Phillip Cheah mendirikan JAFF, sesungguhnya terbersit sesuatu yang sederhana tentang pilihan Jogja untuk JAFF.
Pertama, saya bermimpi, JAFF jika berjalan dalam arah tepat akan menjadi wajah lain Jakarta, yakni Jakarta menjadi Industri film dan Jogja menjadi kota kerajinan film. Lebih khusus lagi, JAFF akan mampu mendorong kota jogja menjadi kota sumberdaya manusia film, baik pemain, artistik, pendidik, serta unsur pekerja teknologi tepat guna film yang efisien, murah dan efektif. Hal ini bisa terwujud, sekiranya JAFF tidak saja hanya pemutaran dan penghargaan, tetapi menjadi ruang menemukan dan berbagi pengetahuan dan keterampilan serta jejaring, lokal, nasional maupun Internasional. Oleh karena itu, JAFF dalam perjalanannya mencoba menumbuhkan unsur-unsur tersebut.
Kedua, memilih Jogja sebagai ruang tumbuh JAFF, mengingat bahwa menumbuhkan festival harus berbasis pada lima aspek, yakni modal sosial warga, modal budaya, modal intelektual, modal keterampilan dan modal jejaring serta modal ekonomi. Tentu saja tidaklah perlu semuanya dipenuhi, sebutlah modal ekonomi bukanlah dasar utama di jogja, namun modal-modal lainnya merupakan ciri dan sejarah jogja.
Ketiga, memilih jogja sebagai ruang tumbuh JAFF, mengingat kekuatan institusi perguruan tinggi, budayawan dan lebih khusus lagi kekuatan keberagaman komunitas film. Oleh karena itu, pada awalnya, JAFF bertemu dengan 65 lebih komunitas di jogja. Kini, 17 tahun kemudian, Jogja sudah bertumbuh menjadi kota kerajinan film, namun juga kini berhadapan dengan era baru ekosistem media baru, selamat menempuh perjalanan baru, JAFF yang kini remaja!!!
Festival Founder